Hampir semua orang tua mempunyai harapan agar anak tumbuh dengan pribadi berkualitas. Namun tidak sedikit dari mereka yang tak tahu cara menumbuhkan karakter pada sang buah hati. Hingga banyak anak yang tumbuh menjadi pembangkang atau nakal.
Menurut psikolog dari Klinik
Psikologi AMG, Cawang, Mulia, pembentukan karakter anak dimulai dari lingkungan
keluarga. Sebab anak akan mengikuti segala hal yang didengar, dirasakan, serta
dilihat dari orang sekitar. “Ketika anak melihat perlakuan yang tidak baik, ia
akan mempunyai sikap yang tidak baik pula,” kata Mulia, kepada Plasadana.com untuk Yahoo
Indonesia, Kamis, 18 September 2014. “Misalnya anak sering menyaksikan
pertengkaran orang tua.”
Proses penumbuhan karakter, Mulia melanjutkan,
sudah mulai kala si anak masih di dalam kandungan. Yakni dengan mengajak
berbincang si calon anak. Sampai lahir, orang tua harus tetap
mengajarkan hal positif. Sebab kala lahir, bayi harus merasakan nyaman di
lingkungan keluarga. Dan ketika ibu cenderung mengabaikan, anak pun akan merasa
tidak disayang. "Meski belum bisa berbicara, setiap bayi pun memiliki
perasaan," ujar Mulia.
Orang tua harus pula memberikan contoh yang baik
pada anak. Misalnya mengucapkan terima kasih ketika anak membantu atau
memberikan sesuatu. “Karena ketika anak sudah tahu melakukan sesuatu yang baik,
dia akan berpikir bertindak yang baik pula,” ujarnya. “Anak akan memahami
kenapa melakukan hal baik, hingga karakternya akan terbentuk dengan baik.”
Waktu anak melakukan kebaikan, orang tua harus
memuji atau memberikan hadiah. Namun jika sang buah hati melakukan kesalahan,
misalnya berbohong, orang tua bisa memberikan hukuman. Tapi tidak berupa
kekerasan.
Orang tua juga bisa mengajak anak membuat kontrak pola
asuh. Misalnya jika si anak melakukan kesalahan, tidak akan mendapatkan pujian
atau hadiah. Sistem ini sendiri bisa mulai diterapkan pada saat buah hati
berumur satu tahun. Karena di usia satu hingga tiga tahun, anak tengah berada
pada masa ekplorasi, seperti menelaah lingkungan.
Pada masa ini pula orang tua berkesempatan untuk memberitahukan
anak akan akibat dari kesalahannya. “Misalnya tidak boleh memanjat, nanti
jatuh,” kata dia.
Anak pun tidak bisa dilarang begitu saja. Harus ada alasan yang masuk akal si
anak. Jika tanpa alasan, bisa berdampak yang buruk bagi pembentukan karakter
anak. Sebab ia tidak akan mengerti akan kesalahan yang telah dilakukan. “Anak
tidak tahu bahwa orang tua melarangnya,” ujar dia. “Dan dia tidak akan tahu
mana yang baik dan tidak.”
Agar anak memahami nilai-nilai sosial, orang tua harus menanamkan pola ini
secara baik dan konsisten. Kalau perlu memberikan sebuan konsekuensi. Misalnya
disiplin dan meminta maaf kala melakukan kesalahan. Bila tidak, anak akan gagal
menyerap nila sosial itu